Cerpen Tugas Kedua
Lalu .. Pupus
Elva N.S
Aku tak mengerti apa yang ku rasa
Rindu yang tak pernah begitu hebatnya
Aku mencintaimu lebih dari yang kau tahu
Meski kau tak kan pernah tahu
Sayup-sayup terdengar alunan lagu Pupus. Meja-meja semakin sepi oleh pengunjung karena hari sudah beranjak tenggelam meninggalkan singgasananya. Namun aku masih di sini menikmati perasaan luka yang tak kunjung reda. Meresapi setiap larik bait puisi yang dinyanyikan oleh Dewa hingga jauh ke dalam relung jiwa.
***
Suara sorak sorai penonton memenuhi semua penjuru lapangan. Terompet, balon pukul, dan suara teriakan seolah beradu menunjukkan semangatnya. Segala harap dan was-was menemani jalannya pertandingan yang tengah berlangsung. Dan di sanalah aku, di tengah lapangan sedang memperjuangkan sebuah kemenangan untuk klubku tercinta. Peluit wasit beberapa kali ditiup, menandakan dimulai atau berhentinya permainan. Kali ini kembali wasit meniup peluitnya untuk memulai permainan setelah skor terakhir sangat ketat. Lawan memukul kok terlalu melambung ke atas memudahkanku untuk melakukan sebuah jumping smash dan “wush..” shuttlecock telah mendarat dengan indahnya di area lawan tanpa sempat dikembalikan.
Kembali sorak sorai penonton lengkap dengan terompetnya menyambut satu angka yang masuk dan menandakan kemenangan mutlakku atas Maria, lawan dari klub lain. Pertandingan kali ini tidak aku menangkan dengan mudah. Maria adalah salah satu pemain andalah klubnya, dan sering menjuarai ajang-ajang bulu tangkis nasional. Aku berhasil menundukkannya melalui sebuah pertarungan panjang tiga set dengan beberapa kali rubber game. Mengalahkan Maria merupakan sebuah prestasi yang tak terduga bagiku.
Sorak penonton kali ini seperti hembusan angin surga yang mengobati rasa lelah dan membasuh keringat yang mengucur dari seluruh tubuhku. Aku memberi sambutan terakhir untuk Maria dan para wasit dengan menjabat tangan mereka. Persis seperti apa yang dilakukan atlet bulutangkis di televisi. Muncullah secercah kebahagiaan dan kebanggaan yang bisa aku tunjukkan pada seseorang. Seseorang yang telah menantiku di depan pintu ruang tunggu dengan rentangan lengan hangatnya. Orang yang selalu memberiku semangat dan membantuku, kak Rendi. Alasanku bermain bulu tangkis hingga sejauh ini.
“God Job,” suara khasnya memujiku. Senyum maniskupun langsung mengembang.
“Semua tak kan terjadi tanpa bantuanmu,” kataku merendah.
“Hah. Akhirnya kau bisa berkembang sejauh ini. Kini saatnya kau doakan abangmu ini,” pintanya sambil mengacak-acak rambut pendekku yang basah oleh keringat seraya pergi ke lapangan.
“Pasti. Semangat!” teriakku menemani setiap langkahnya.
Pertama kali aku berjumpa dengan kak Rendi saat aku masuk di klub Bulu tangkis yang aku ikuti sekarang. Kira-kira sudah tiga tahun lalu saat usiaku baru 18 tahun. Awalnya aku mengira kak Rendi adalah senior yang memiliki sikap keras dan disiplin. Namun lama kelamaan aku mulai paham bahwa apa yang dilakukannya agar juniornya memiliki skill serta sifat ulet dan pantang menyerah oleh rintangan seperti apapun.
Hari demi hari membuatku semakin kenal kak Rendi. Bentakannya yang selalu aku tunggu-tunggu setiap malam. Bentakannya kini lebih terdengar menjadi sebuah kata manis, Perhatian. Walaupun teman-teman tetap menganggapnya sebagai auman singa yang baru bangun dari tidur panjang. Jika tak menerima satu bentakan dalam sehari rasanya ada yang terlewat dalam hari itu. Momen-momen latihan kini tidak menjadi hal yang membosankan, tetapi membuatku tambah semangat.
Di samping sisi kerasnya ternyata kak Rendi adalah seseorang yang sangat lembut dan bersahabat. Satu perkataan darinya yang terkenang sampai saat ini adalah “kebahagiaan dan kesedihan adalah dua mata uang yang mulai dan berakhir pada titik yang sama, hanya arah yang membedakan.”
“Apa maksudnya?” tanyaku kala itu.
“Suatu hari kau pasti akan mengetahuinya sendiri,” jawabnya sambil mengacak-acak rambut pendekku.
Sifat kami yang bisa dibilang sama-sama cuek dan tomboy membuat kami cepat akrab. Kak Rendi sangat terbuka kepadaku. Semua masalah yang dihadapi tanpa ragu-ragu diceritakannya. Mulai dari masalah keluarga, teman, bahkan masalah dengan pacarnyapun tak segan-segan dia bocorkan kepadaku. Itulah yang membuatku nyaman selalu didekat kak Rendi. Kami sudah bagaikan saudara kandung yang kemana-mana selalu berdua.
Suatu ketika aku dikenalkan dengan pacarnya, kak Reni namanya. Feminin, cantik, rambut panjang, tubuh langsing dan berkaki jenjang, bisa dibilang idaman para pria. Dari awal melihatnya sudah dapat disimpulkan bahwa kak Reni adalah tipe cewek yang jarang absen dari salon. Mulai dari rambut, wajah, dan badan tidak lepas dari sentuhan peralatan-peralatan modern yang mahal. Entah kenapa aku merasa kurang cocok dengan kak Reni. Mungkin kami berbeda aliran, dia aliran wanita pecinta salon sedangkan aku aliran yang cuek dengan penampilan. Ribet.
Ku lihat wajah kak Rendi merona saat bercanda dengan kak Reni. Senyumnya terlihat berbeda dari senyum biasanya. Ya, mereka terlihat sangat serasi satu sama lain. Kak Rendi yang tinggi dengan postur atletis sangat serasi di samping kak Reni yang sangat cantik. Tidak ada tempat lagi untukku. Aku bagaikan orang asing di tengah mereka. Entah kenapa hati kecilku berteriak, dan menolak. Tetapi aku hanya bisa diam dan menangis dalam tawa.
Sudah beberapa bulan ini kak Rendi mengatakan bahwa dia putus dengan kak Reni. Aku menunjukkan perasaan yang sangat sedih. Namun otakku menghantarkan impuls-impuls kebahagiaan dalam wajahku. Semua temanku memandang aneh kepadaku hari itu yang terlalu banyak menampilkan porsi senyum walau keadaan seharusnya menegangkan karena temanku hampir kalah bertanding. Tak ada kata yang bisa mengungkapkan rasa bahagiaku kecuali senyuman.
Sejak itu aku mulai gencar mendekati kak Rendi, mulai mencari-cari alasan agar kak Rendi mau melatihku, mengajak makan siang bareng di warung langganan, mengirimi berjuta sms gak penting dalam dua menit sekali. Misalnya sms yang menanyakan kegiatannya saat itu, sudah makan atau belum, menu makanan hari itu dan segala sms peneroran yang lain. Awalnya kak Rendi memberikan respon baik namun lama kelamaan respon itu berkurang, bahkan sering tak mendapatkan respon. Aku bagaikan seorang alien yang terdampar di planet asing, sangat asing. Seolah aku berbicara pada diriku sendiri
***
Restoran Feast sedang ramai-ramainya sore ini. Aku memilih meja yang berada tepat di samping jendela. Dari meja ini aku bisa melihat segelintir orang berlalu lalang di sepanjang Jalan Veteran. Di depanku ada kak Rendi dan kak Reni. Suatu suasana yang tidak aku inginkan sebelumnya. Aku hanya ingin duduk berdua dengan kak Rendi, merayakan kemenangan kami hari ini yang sama-sama mampu mengalahkan lawan. Mengobrol kecil-kecilan, lalu.. Ah aku tak suka kata lalu. Lalu yang memulai kata, merajutnya menjadi frasa dan kalimat, melanjutkan angan dan harapan yang mungkin tidak akan pernah tersampaikan. Lalu.. lalu aku sendiri, sendiri dengan luka ini lagi. Menenggelamkanku dalam angan halusinasi dan aku tak suka suasana ini. Suasana lalu yang memulai sakit hati. Lalu aku ingin pergi. Sungguh ingin pergi.
“Baiklah apa permintaanmu yang ingin kau sampaikan?” tanya kak Rendi memecah keheningan. Sebelum pertandingan kami melakukan taruhan barang siapa yang mampu mengalahkan lawan maka permintaannya akan dikabulkan oleh pihak yang kalah. Dan aku sangat menyambut momen ini, karena aku bisa mengutarakan perasaanku pada kak Rendi.
“Tentu. Tetapi akan lebih baik jika pemenang dengan skor terbaik mengatakan permintaannya dulu.”
“Mm..”katanya ragu-ragu seraya memandang kak Reni yang duduk di sampingnya. Terbersit kebahagiaan dari wajah mereka. “Kau tahu kami telah berbaikan seminggu yang lalu.. Dan kami memutuskan untuk melanjutkan hubungan kami ke jenjang yang lebih jauh lagi.kami akan menikah,” sambung kak Reni seraya mengeluarkan sebuah amplop berwarna merah jambu. Sebuah amplop undangan perkawinan antara kak Rendi dan kak Reni dengan ukiran tinta emas di bagian depannya.
Mulutku kaku, lidahku kelu, kerongkonganku seolah tercekat. Aku terima undangan itu dengan tangan sedikit gemetar. Keadaanku saat itu lebih parah dari pada mendapat smash dari musuh dan tidak bisa mengembalikannya. Aku benar-benar tak tahu apa yang harus aku lakukan. Semua terasa menjadi biru. Dengan sekuat hati aku tak membiarkan sebulir air matapun jatuh melewati pipi. Aku tak mau terlihat lemah di depan mereka.
“Apa kau menyetujui pernikahan kami?” tanya kak Rendi setelah melihat tanda-tanda keraguan di mataku. Aku hanya bisa menganggukkan kepala sebagai tanda bahwa aku setuju dengan pernikahan yang akan mereka lakukan karena aku takut suaraku akan pecah saat berbicara.
“Lalu apa permintaan yang telah kamu buat?” Lalu,lalu, dan lalu. Kenapa kalimat ini dimulai dengan kata lalu.
Aku menarik nafas panjang, “Apa kau mau berjanji untuk menepati permintaanku?”tanyaku pada kak Rendi.
“Aku ingin kak Rendi.”
“Apa?” tanya kak Reni yang sedikit tersengat.
“Aku ingin kak Rendi..”kurasa suaraku akan pecah dan air mataku akan tumpah.
“Aku ingin kak Rendi selalu berada di sisi kak Reni untuk selamanya dan bahagia,” kataku sengaja aku cepatkan.
Terlihat kelegaan dari raut muka mereka. Aku mendengar kak Reni mengucapkan kata terima kasih yang sangat tulus. Kak Rendi menunjukkan ekspresi kebahagiaannya dengan mentraktirku seluruh makanan spesial di restoran itu, namun selera makanku sudah terlanjur hilang. Aku tidak memakan makanan itu satu sendokpun sampai akhirnya kak Rendi dan kak Reni meninggalkanku sendiri.
Baru kusadari
Cintaku bertepuk sebelah tangan
Kau buat remuk seluruh hatiku
Apa yang dikatakan kak Rendi memang benar. Kebahagiaan dan kesedihan adalah dua mata uang yang mulai dan berakhir pada titik yang sama, hanya arah yang membedakan. Kebahagiaanku dan kesedihanku dimulai dan diakhiri dari satu titik, kak Rendi.
Semoga waktu akan mengilhami sisi hatimu yang beku
Semoga akan datang keajaiban hingga akhirnya kau pun mau
Aku mencintaimu lebih dari yang kau tahu
Meski kau takkan pernah tahu
***
Komentar
Posting Komentar