Your Ex
Serasa
disambar petir di siang bolong saat kuterima telepon darinya. Entah apa yang
aku impikan semalam hingga aku harus menanggung kenyataan pahit ini.
“Mantanku,” katanya memulai rentetan cerita itu, “Aku baru saja bertemu dengan mantanku.”
“Mantanku,” katanya memulai rentetan cerita itu, “Aku baru saja bertemu dengan mantanku.”
Sontak saja mataku membelalak, bahkan rasanya sudah ingin
lepas dari tempatnya. Lalu kenapa dia mengatakan semua ini padaku? Apakah dia
berniat untuk memutuskanku saat ini, sekarang, untuk kembali pada mantannya?
“Yuk? Kamu masih di sana kan?” katanya membuyarkan
lamunanku.
Aku tak tahu harus menjawab apa, karena aku tahu suaraku
akan pecah nantinya. Aku tidak ingin terlihat lemah dihadapan laki-laki, apalagi
karena perempuan lain.
“Yuk, apa kamu marah?”
“Tidak, kenapa aku harus marah?” jawabku singkatt.
“Benar, kamu tidak marah?”
“Ya, beneran. Percuma juga aku marah sama kamu toh kamu
sudah bertemu dengannya. Buang-buang energi tau!” kucoba mengatur nafas agar
bisa berpikir lebih dingin. “Bagaimana kabarnya? Masih cantik kaya dulu?” sindirku.
“Haha..” tawanya di seberang sana memekakan telingaku.
“Kau cemburu ya?”
“Tidak,” bantahku. “Kenapa dia datang ke Malang?”
Tampak ada sedikit jeda dan helaan nafas berat yang terdengar
menggesek di telepon.
“Sebenarnya dia jauh-jauh datang ke Malang untuk
menemuiku. Dia ingin mengajakku balikan. Kembali merajut tali asmara seperti
dulu kala.”
Sudah kuduga inilah yang akan dia katakan. Tak dapat
dipungkiri kini kata-kata itu telah mengaduk-aduk emosiku, meledakkan amarah
yang sudah sejak tadi kupendam. Wajahku memanas hingga kupingku memerah. Aku
segera menutup telepon secara sepihak. Sudah tidak sudi lagi aku mendengar sepatah
kata pun dari bibir manis yang penuh bisa itu. Sudah cukup. Aku tak tahu apa
yang akan aku ucapkan berikutnya jika telepon ini tetap tersambung.
Drt..drt..drt
HPku bergetar lagi. Sesuai yang kuperkirakan, panggilan
dari Raka. Aku masih marah dengannya saat ini. Ku lempar HPku ke kasur, ku
tindih dengan bantal dan ku tinggal tidur.
“Hah! 166 panggilan masuk! Apa-apaan sih ni anak,” kataku
tak percaya setelah melihat layar HPku.
Aku sadar aku salah dengan marah kepadanya. Kurasa caranya yang sudah jujur kepadaku itu sudah bagus. Akan tetapi tidakkah dia memikirkan perasaanku dengan mengatakan ini semua?
Memang dia sangat menyukai mantannya. Terlihat sejak dia
masih menjalin cinta dengan Donna, mantannya yang tinggal di Jawa Barat itu.
Bagaimana caranya melihat, bagaimana gerak tubuhnya saat di dekat Donna. Sangat
mudah terbaca kalau dia tergila-gila dengan Donna. Saat itu aku hanyalah adik dari
sahabatnya yang tidak tahu apa-apa kecuali cinta pada pandangan pertama.
Melihatnya tersenyum bebas dari kejauhan mampu membuat bibirku mengulum senyum.
Itulah yang kusebut cinta.
Saat pertama kali dia memanggil namaku rasanya tanganku
bergetar, kakiku gemetar, dan jantungku berdebar. Saat dia bertanya dimana
sekolahku, aku hanya diam karena yang kupikirkan adalah bagaimana aku bisa
terlihat menarik di matanya tanpa menghilangkan kesan smart. Tapi justru kesan
bodohnya yang tertangkap, dan yang bisa aku katakan pada diriku sendiri adalah
“Bodoh, bodoh, bodoh!”
Seharusnya sudah aku ketahui sejak awal kalau dia tidak
bisa move on dari mantannya.
Bagaimana tidak habis-habisnya dia bercerita tentang Donna sepanjang malam. Mengagumi
setiap hari kenangan bersamanya. Menikmati indah senyumnya yang lepas dan mampu
memberikan nyawa untuk hidup lebih bersemangat. Tanpa dia sadari bahwa
senyumnya adalah nyawaku. Semangatnya adalah alasanku untuk bangun di pagi hari
dan dia adalah oksigenku.
Aku sadar dia begitu berarti untukku. Tidak seharusnya
aku bersikap seperti ini. Ngambek seperti anak SMA yang baru kenal cinta
kemarin. Aku harus menunjukkan padanya bahwa aku adalah wanita dewasa yang
mampu berpikir jernih dengan kepala dingin. Aku sadar dia sudah berusaha untuk
jujur padaku dan itu berarti dia menghargai keberadaanku di sisinya. Aku tidak
ingin kehilangannya, tetapi apakah dia masih mencintai kak Donna? Masih cinta
kah? Pertanyaan itu terus terngiang-ngiang di kepalaku.
Langkahku
terhenti di halaman rumah. Tidak hanya kakiku yang berhenti melangkah, namun
hatiku juga. Ya, di depan sana berdiri sesosok tubuh Raka yang terlihat capek.
Wajahnya menunjukkan kedukaan yang amat dalam. Aku tahu tindakanku semalam
sangat salah dengan mematikan handphone begitu saja. Mulutku hendak berucap
sebelum kemudian menutup secara mendadak setelah tiba-tiba satu sosok perempuan
datang menghampiri Raka. Kali ini jantungku yang bakalan benar-benar berhenti.
“Raka!”
“Ayu!”
“Kak
Donna!”
“Donna?”
Kami pun saling pandang satu sama lain. Aku sangat kaget dengan pemandangan yang terpampang di halamanku sore ini. Inilah jawaban pertanyaan yang selama ini mengobrak-abrik pikiranku.
Kami
duduk melingkar di sebuah meja café. Suasana berubah menjadi tegang seolah Kak Raka
adalah eksekutor yang harus memilih salah satu dari kami untuk di eksekusi, aku
atau kak Donna. Kak Raka masih diam dengan pikirannya. Aku pun ikut terdiam
karena tidak tahu harus berbicara apa. Aku masih menebak-nebak apa yang akan
terjadi selanjutnya. Apakah yang akan terjadi pada hubungan kami. Haruskan
berakhir sampai di sini. Ku pandang wajahnya yang semakin kalut. Tiba-tiba kak
Donna membuka pembicaraan yang terlampau basi seperti sudah didiamkan satu hari
satu malam.
“Ayu,
aku minta maaf..”
“Tidak
perlu minta maaf, Kak. Aku sudah tahu semuanya dari awal. Jika memang ini yang
terbaik buat kalian, buat Kak Raka,” kataku mencoba untuk tegar.
“Bukan
begitu Ayu,” sanggah kak Raka.
“Begitulah
kak Raka. Aku tahu kakak dari dulu mencintai kak Donna. Bahkan selama ini belum
ada yang mampu menggantikan posisinya di hatimu. Aku tahu sebagai adik yang
selalu memperhatikanmu, kak Raka. Dan akan selalu begitu.”
“Adik?
Itukah yang kau mau?”
“Ya.
Bukankah seperti itu seharusnya, kak Donna? Tidak sepantasnya orang yang saling
mencintai dipisahkan.” Tampak kak Raka memandangku lekat, tak percaya dengan
semua perkataan yang meluncur dari mulutku.
“Aku
tak percaya dengan semua omong kosong ini!” nada bicara kak Raka meninggi.
“Begitulah,
selama ini kita hanyalah kakak dan adik, tidak lebih. Kurasa semua sudah aku
sampaikan. Aku harus meninggalkan kalian karena masih banyak tugas yang harus
aku selesaikan segera. Selamat malam.” Bergegas aku meninggalkan mereka berdua.
Aku tak sanggup untuk menoleh ke belakang, karena aku tahu hatiku bakal sakit
banget. Biarlah rintik hujan ini yang menghapus lukaku.
Aku
tahu hatiku berteriak, meronta, dan berkata tidak. Sungguh jika semua orang
menghindari kata munafik, aku tahu saat ini aku munafik. Tapi inilah yang
terbaik, kurasa. Mereka yang saling mencintai sudah sepantasnya untuk bersatu
tanpa ada satu hal pun yang menghalangi. Dan kak Raka sudah sepantasnya bersatu
dengan kak Donna karena aku tahu dialah satu-satunya wanita yang pantas untuk
kak Raka. Biarlah aku tetap menjadi Ayu yang mengagumi sesosok kak Raka dari
jauh. Itulah yang aku sebut cinta.
Hampir
lima tahun aku tak berhubungan lagi dengan kak Raka. Lima hari yang lalu aku
bertemu dengan kak Donna. Dengan wajah bahagia dia menggendong seorang anak
perempuan yang sangat cantik. Aku tahu dari raut wajahnya bahwa hidupnya
bahagia kini. Itu membuktikan bahwa keputusan yang kubuat lima tahun yang lalu
benar. Walaupun aku hanya bisa melihatnya dari jauh.
Kesibukanku
sebagai seorang penulis membuatku tak memiliki banyak waktu untuk bergaul
dengan teman-temanku. Terutama dikarenakan deadline naskah yang sudah semakin
dekat. Duniaku hanya bergelut dengan kata-kata dan promo buku di beberapa toko
buku ternama di Indonesia. Akan tetapi, kegiatan promo siang ini berbeda dengan
promo sebelumnya. Ada seorang anak berusia 7 tahun memberikan sebuah surat
untukku. Ku kira surat itu adalah surat biasa dari fans kecilku. Namun ternyata
surat itu berisi sebuah puisi yang sangat indah. Puisi yang mampu membuatku
kembali ke masa silam.
Di heningnya malam, di ramainya lampu taman
Tawamu adalah tawaku yang mampu memberikan kesejukan
Bagai sinar mentari di ufuk timur
Kala malam tengah jenuh dengan kesunyian
Kau adalah hari baruku
Kau pemberi harapan
Walau kini ku hanya melihatmu dari jauh
Namun inilah bukti cintaku
Jika waktu tahu, dia pasti akan mempertemukan kita
Aku tersenyum membacanya. Melihatmu dalam kejauhan mengingatkanku akan kak Raka. Dia pasti
telah hidup bahagia. Aku yakin itu.
Siang
ini aku memutuskan menyegarkan pikiranku dan berjalan-jalan sebentar keluar.
Terlalu penat rasanya otak ini setiap hari harus memandang layar monitor yang
kini sudah menjadi teman sejatiku. Tempatku mengeluh, curhat, dan menumpahkan
segala keluh kesah. Bahkan, laptop pun tidak mau membantuku menyelesaikan deadline
ini. Apakah itu bisa dikatakan teman sejati! Agar kestreesan ini tidak
berlanjut, akhirnya aku menggandeng teman baruku kendaraan beroda dua anti
polusi untuk mengelilingi kota Malang tercinta ini. Cuaca sore yang redup
dengan udara semilir yang membelai lembut wajahku membuat pikiran menjadi
relax. Selain itu, menikmati pemandangan orang-orang berlalu lalang di
sepanjang jalan dan memperhatikan kebiasaan mereka yang beraneka ragam membuat
baterai imajinasiku terisi penuh.
Tiba-tiba, rem sepeda mendadak kutekan kuat-kuat. Keluar dari
sebuah toko kue kak, kulihat kak Donna berjalan dengan seorang laki-laki yang
tak kukenal siapa. Laki-laki itu menggandeng tangannya dengan mesra. Dapat
tertangkap oleh mata setiap manusia yang melihat bahwa ada hubungan special di
antara mereka. Kak Donna selingkuh.
“WHAT! Ini tak bisa dibiarkan,” kataku geram.
Sebelum kak Donna masuk ke dalam mobil cem-cemannya itu, aku segera
menghampirinya.
“Kak Donna,” panggilku ragu-ragu.
“Hai, Ayu. Lama ya gak jumpa. Apa kabar?”
“Kak, bisa bicara sebentar gak?” tanyaku ragu-ragu. “Tapi
gak di sini,” tambahku sambil melirik pada laki-laki yang ada di sampingnya.
Kak Donna memberi isyarat pada laki-laki di sampingnya itu yang kalau bisa saya artikan “Duluan saja, nanti aku menyusul.” Dan laki-laki itu menunduk tanda mengerti. Sungguh sebuah perselingkuhan yang menggelikan batinku.
Kak Donna memberi isyarat pada laki-laki di sampingnya itu yang kalau bisa saya artikan “Duluan saja, nanti aku menyusul.” Dan laki-laki itu menunduk tanda mengerti. Sungguh sebuah perselingkuhan yang menggelikan batinku.
“Kak, langsung saja. Apa yang mbak lakukan di sini,
dengan laki-laki itu?”
“Maksud kamu?”
“Kak, kamu gak inget sama anak mbak di rumah? Sama mas Raka?”
Dan gelak tawa muncul dari mulut mungilnya. “Oh, Raka.
Jadi ini semua tentang Raka.”
Kak Donna bisa membaca kebingungan dari wajahku.
“Maaf,” katanya mengakhiri rentetan tawa yang membuat
bola mataku terbelalak. “Jadi selama ini Raka tidak memberitahumu?”
“Memberi tahu? Apa?” tanyaku bingung.
“Jangan bilang setelah pertemuan itu kalian tidak pernah
bertemu lagi.” Mbak Donna tahu bahwa jawabannya tidak. “Astaga.” Dan cerita itu
pun di putar kembali.
“Sore itu di kafe coffe, aku mengajak Raka balikan untuk
kedua kalinya dan dengan tegas dia mengatakan tidak. Dia bilang memang dulu dia
sangat mencintaiku sebelum aku meninggalkannya. Kamu, ya, kamu Ayu seseorang
yang mampu mengembalikan dirinya lagi, mengisi hari-harinya. Baginya, kamu
bukanlah sosok pengisi kekosongan dan pelampiasan sakit hatinya, tapi kamu
adalah cinta. Cinta yang tidak perlu alasan untuk mencinta, cinta karena
satu-satunya alasan adalah cinta itu sendiri.”
“Tapi..”
“Aku bertemu dengan Joe 4 tahun yang lalu. Dia seorang
pengusaha yang berdomisili di Malang. Kami merasa cocok dan setahun kemudian
kami menikah. Keluargaku merupakan keluarga kecil yang bahagia ditambah dengan
adanya Keyla kecil kebahagiaan itu terasa lebih sempurna. Sekarang, sudah tidak
ada alasan lagi untukmu berkata tidak. Carilah kebahagiaanmu sendiri Ayu,
karena yang menentukan semua adalah dirimu.”
Pertemuan kali itu sungguh membuatku galau. Bejuta-juta
pertanyaan mengantri di pikiranku untuk meminta jawaban. Mendesak meminta
pertanggung jawaban, tetapi aku hanya bisa menebak ini dan itu, tanpa ada
jawaban pasti.
Jadi
selama ini kak Raka dan kak Donna tidak balikan. Jadi dia memilih aku. Kenapa
aku dari dulu selalu bodoh. Tiba-tiba aku teringat sesuatu. Puisi itu.
“Ini
adalah peserta terakhir, setelah ini kamu bisa istirahat” kata manajerku di
akhir acara meet and greet.
Saat
aku merapikan buku dan mengambil tasku, tiba-tiba ada seseorang yang menarik
rokku dari belakang. Aku pun menoleh. Seorang anak berusia 8 tahun menyodorkan
selembar kertas berwarna ungu kepadaku. Kubuka dan tertulis satu kata di
dalamnya “CINTA”.
Aku
tanya dari siapa dia mendapatkan kertas itu dan anak itu menunjuk sutau tempat,
kafe coffe. Seorang waiters di sana memberikan satu kertas lain berwarna
kuning. Saat aku buka, kertas itu bertuliskan “CINTA”. Lalu waiters itu
mengatakan bahwa aku ditunggu di toko kue Moon. Aku sangat kaget karena setiap
orang yang ada di toko kue itu melihatku. Seolah aku adalah orang teraneh di
dunia. Semua orang memberiku kertas warna-warni hingga tanganku tidak cukup
untuk menampung semuanya. Lalu kulihat senyum itu dari kejauhan, wajahnya,
matanya, hidungnya, bibirnya. Tangannya meraih tanganku dan dengan lembut dia
berbisik, “Sudah lama aku menunggumu.” Air mataku tumpah sejadi-jadinya.
“Jika
waktu mengizinkan, cinta kita pasti bersatu.”
Komentar
Posting Komentar