Sepasang Kaki untuk Dedek

Pernyataan Dedek pagi ini begitu mengejutkanku. Usahaku untuk membuatnya sembuh tenyata mendapatkan tanggapan yang berbeda dari Dedek. Sungguh respon ini berada di luar nalarku. Selalu terngiang suasana pagi ini ketika aku dan ayahnya berembuk hendak mengobatkan Dedek ke pengobatan alternatif di daerah Bogor. Sebelumnya kami sudah mencoba semua macam pengobatan yang ada di negeri ini. Mulai dari yang berbau medis sampai semua jenis pengobatan alternatif, bahkan yang tahayul pun sudah. Seperi pengobatan ala zaman batu miliki Ponari. Dan saya membelakan datang sendiri dari Jakarta ke Jombang dengan satu tujuan, agar Dedek bisa sembuh.

“Ma, malam ini Dedek bermimpi indaah banget. Dedek bisa berjalan mah dengan kaki Dedek. Kemudian Dedek berlari ke pelukan mamah. Kapan ya ma Dedek bisa berjalan?,” kata Dedek suatu hari. Dari ucapan Dedek itu aku memiliki tekad untuk mengobatkan Dedek sampai Dedek bisa berjalan.

 Tekad ini membuatku menjadi seorang ibu yang ambisius. Tanpa pikir panjang jika ada tetangga yang menyarankan untuk mengobatkan Dedek ke suatu tempat aku pasti segera mencari tahu tempat tersebut dan segera mengajak Dedek untuk berobat kesana. Dedek yang masih berusia 7 tahun akan begitu saja menurut setelah aku iming-imingi dengan permen atau makanan kesukaannya. Kasihan memang melihat Dedek menangis menahan kesakitan saat proses pengobatan berlangsung, dengan memakai penyangga dan alat-alat tetek bengek lainnya. Tetapi aku selalu menguatkan diri bahwa ini semua untuk kebaikan Dedek.

Sebenarnya suamiku sudah mneasehatiku untuk tidak berlebihan.”Ma, jangan pengobatan Dedek ini lantas membuat mama menjadi mengesampingkan perasaan Dedek.” Namun aku malah menanggapinya dengan dingin. Aku bilang, “Memangnya Papa gak senang melihat Dedek berjalan? Melihat Dedek bisa bebas berlari kesana-kemari tanpa terbelenggu oleh kursi roda lagi?”

Tapi pagi ini harapanku kandas setelah mendengar tanggapan Dedek. Mungkin bisa dikatakan saat itu adalah puncak kejenuhan Dedek pada semua pengobatan yang telah dilakukan, yang telah aku paksakan tepatnya. Semua rasa sakit yang selalu dia keluhkan ketika pulang berobat, dan itu tidak bisa hilang dalam satu hari. Dedek yang menginginkan hidup normal meski tidak bisa berjalan dengan kakinya sendiri.

“Ma hari ini mau berobat kemana lagi? pertanyaan Dedek pagi ini.

"Mama sayang sama Dedek kan? Kalau mama sayang sama Dedek sudahan dong ma berobatnya. Dedek capek mah.”

“Iya, tetapi bukannya Dedek mau berjalan dengan kaki Dedek sendiri?”tanyaku.

“Dedek senang bisa berjalan dengan kaki Dedek. Tetapi Dedek lebih senang bisa menjadi anak mama. Dedek sudah bersyukur walaupun Dedek hidup dengan kursi roda. Dedek bahagia walaupun Dedek tidak bisa berjalan. Asalkan ada mama, Dedek bahagia. Dedek tidak mau berobat lagi ma,” kata Dedek dengan berlinang air mata. "Dedek sakit ma," tambahnya.

Bagaikan mendapat pukulan yang telak di ulu hati, aku pun tak bisa menahan jatuhnya buliran halus di pipiku. Saat itu aku merasa aku bukanlah ibu yang baik buat Dedek. Aku selalu memaksakan kehendakku tanpa mengetahui bagaimana perasaan Dedek. Menatap wajah Dedek yang menangis menyadarkanku bahwa aku melakukan hal yang salah. Hanya karena ingin melihat Dedek berjalan aku menutup telingaku dari semua tanggapan orang-orang yang ada di sekitarku. Aku peluk Dedek yang berada di kursi rodanya. Setengah menahan tangis terlantunlah ucapan maaf itu ditelinga Dedek. “Maafin mama.”
Terinspirasi dari kisah perjuangan besar Ibu Endang Setyati dalam membersarkan anaknya yang istimewa, Habibie.


 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerpen "Cinta Terakhir Keysa" (teenlit)

Masa KAnak-KanakQ

PIDATO KESEHATAN