SaAHABAT

“Pada akhirnya aku harus mengatakan ini. Jika bukan sekarang, waktu akan menuntutku. Pasti waktu akan menghukumku dengan sengatan perasaan bersalah. Aku tidak ingin memberikannya harapan palsu. Aku tidak ingin membuatnya kecewa dan ada pihak yang tersakiti. Walau kini pun rasa sakit itu pasti ada.”

“Apa kamu sudah memikirkannya masak-masak?”

“Tidak, sungguh aku tidak ingin melakukan itu.”

“Apa kamu tidak menyukainya lagi?”

“Tidak, tidak begitu.” Terlihat dari pancaran matanya dia masih ragu untuk memuntahkan semua unek-uneknya padaku.

Aku bisa memahaminya. Aku hanya seorang teman yang baru dikenalnya 2 minggu terakhir ini. Aku belum mengerti semua kisah hidupnya. Yang ku bisa hanya menjadi seorang pendengar yang baik. Mungkin itu juga yang saat ini dia butuhkan. Seseorang sebagai tumpuan tanpa harus mendektenya ini itu.

“Sebenarnya aku sangat menyukainya,” dia mulai membuka cerita, “Dia laki-laki dewasa, sudah bekerja dan mapan. Setidaknya itulah tipe laki-laki yang diidam-idamkan wanita seumuranku. Beda usia lima tahun membuatnya memiliki pemikiran yang lebih dewasa. Aku suka cara dia memperlakukanku, tanpa membuatku merasa bahwa aku adalah anak kecil. Dia suka menasihatiku jika aku sering mengeluh dengan tugas kuliah yang menumpuk. Dia juga sering memberiku motivasi.”

“Kau pasti sangat menyukainya, bukan?”

Hanya hembusan nafas berat yang kudengar sebagai jawaban atas pertanyaanku barusan.

“Jadi benarkah dia yang sudah berpaling darimu?” tanyaku pensaran.

“Tidak, dia bahkan telah mengutarakan niatnya untuk melamarku dihadapan kedua orang tuaku. Bahkan aku sudah kenal dengan keluarganya. Aku diajak ke rumahnya di Lamongan. Ayah, ibu, adik, juga sepupunya sudah kenal akrab denganku. Bahkan aku merasa kita adalah keluarga kandung sejak tanpa tembok penghalang diantara kami.”

Aku mulai tidak tahu arah permasalahan ini. Semua masih terlihat samar di hadapanku. Tidak hitam, tidak juga putih. Seperti seorang pesulap yang mengajak kita untuk menebak benda apa yang ada di balik topinya, mungkin kelinci, bisa juga burung merpati. Semua masih samar.

“Lalu apa?” tanyaku bingung.

Wajah sedihnya terus menyembul membawa awan gelap ke pelupuk matanya. Alunan musik dinamis di café ini tak mampu membawa dirinya kembali seperti saat pertama kali aku bertemu dengannya. Aku kenal dengannya saat kami berdua terlibat dalam program kuliah bersama. Kami masuk dalam satu kelompok. Dia sangat ceria dan mampu menularkan kebahagiaannya pada anggota kelompok yang lain, salah satunya adalah aku. Bahkan aku sempat berpikir mungkin anak ini adalah anak paling bahagia di dunia dan satu-satunya orang yang tidak memiliki masalah dalam hidupnya. Tetapi dia hanyalah manusia biasa yang juga bisa sedih karena kisah perjalanan hidup.


Lama dia berpikir. “Orang tuaku,” jawabnya sambil menunduk. Jelas trlihat ada kekalutan dalam hatinya.
Aku menyeruput kopi yang sudah mulai dingin. Rasa manisnya menyentuh lidahku, menghantarkan impuls ke saraf pusat dan mengirimkan pesan ke otakku bahwa cerita ini akan menjadi lebih menarik. Yah, paling tidak bisa menjadi bahan cerita novelku. Tidak, tidak. Kali ini aku tidak ingin menjadi teman sekaligus sahabat yang buruk. Setidaknya aku tidak akan menuliskannya menjadi sebuah referensi cerita. Aku akan menjaganya sebagaimana cerita ini adalah barang yang dititipkan padaku dan aku tidak akan memberikan barang ini pada orang lain walaupun barang ini diganti dengan uang berapapun besarnya karena persahabatan memiliki nilai yang sangat besar dan tak tergantikan.

“Orang tuaku tidak menyetujui hubungan kami.”

Tumpahlah sudah bulir-bulir itu yang selama ini dia tahan. Jujur, aku tak tahu harus berbuat apa saat ada seseorang menangis di hadapanku. Aku merasa kikuk, dan tidak tahu cara terbaik apa yang dapat ku gunakan untuk menenangkan pikirannya. Mungkin cara terbaik adalah membiarkannya menangis sejadi-jadinya karena dengan begitu setidaknya dia akan merasa lebih ringan dan jujur pada dirinya sendiri. Jujur bahwa saat ini dia sakit, dia terluka tanpa berusaha tegar namun sebenarnya sangat rapuh. “Mungkin orang tuamu memiliki pertimbangan lain untuk ini,” kataku setelah dia menyeka air matanya. “Coba kamu berada di posisi orang tuamu, mungkin saja mereka masih memikirkan pendidikanmu. Kamu tahu kan kalau kamu sendiri belum lulus kuliah. Mau jadi apa kamu nanti hidup tanpa pegangan. Kurasa orang tuamu masih bertanggung jawab akan masa depanmu kelak. Dia tidak ingin anaknya terlunta-lunta.”

“Mungkin, tapi aku tidak tahu jalan pikiran mereka. Apa yang salah dengannya. Secara ekonomi, dia sudah mapan. Dia sudah siap membangun sebuah keluarga. Secara usia, tentu dia sudah dewasa dan mampu membimbingku kelak. Sedangkan aku adalah perempuan yang sudah cukup usia untuk menikah. Kau tahu teman-teman masa kecilku rata-rata mereka sudah menggendong anak dan menentengnya kemana-mana. Lalu apa yang membuat kedua orang tuaku melarangku untuk bersamanya.”

Bulir-bulir halus kembali mengalir dari kelopak matanya memerah.

“Kau tahu bagaimana tiap minggu aku berkencan dengannya?” katanya kemudian di tengah tangisnya. “Aku selalu bilang pada ayahku kalau aku akan ke warnet untuk mencari tugas. Kemudian dia akan menungguku di ujung jalan. Kami akan keluar untuk makan di sebuah warung kecil di pinggir jalan langganan kami. Jika belum terlalu larut, kami akan ke taman kota.”

Aku tersenyum membayangkan cara berkencan mereka. Sangat biasa, namun terasa spesial kurasa. Sebuah kebahagiaan sederhana yang tidak kita dapatkan di restauran mahal.

“Ya. Sesungguhnya hanya dua hal yang ku suka darinya, perhatian dan cintanya. Entahlah apakah nanti aku bisa menemukan pria lain yang seperti dirinya.”

“Aku tak yakin kau benar-benar menyukainya,” kataku tiba-tiba. Aku sendiri tak sadar telah mengatakan ini. Matanya membelalak, tak menyangka kata-kata itu meluncur dari bibirku.

“Maksudku, jika kau benar-benar menyukainya kenapa kau memikirkan bagaimana cara untuk melepaskannya, bagaimana cara agar dirimu tak terluka,” ralatku.

“Lantas aku harus bagaimana? Sudah tidak ada jalan bagi kita.”

“Hanya sebesar itukah cintamu? Jujur mungkin kau tidak cocok untuk seseorang yang hebat seperti dia dengan sikapmu sekarang ini!” kataku geram dengan sikapnya. “Mungkin jika mengetahuinya, dia juga akan kecewa.”

Kulihat wajahnya bertambah lesu. Mungkin kata-kataku memang terlalu kasar, namun itulah yang harus dia dapatkan. Saat ini dia perlu sebuah saran, masukan dan bahkan tamparan. Tamparan agar bisa sadar bahwa cintanya begitu berharga untuk dilepaskan begitu saja. Lalu apa arti dari perjuangannya selama ini jika pada akhirnya harus berakhir! Tidak, ini tidak bisa dibiarkan. Walaupun aku bukan siapa-siapa, namun aku akan mendukungnya sebagai sahabat.

“Apakah kau akan menyerah semudah itu untuk cintamu? Kau benar-benar wanita gampang menyerah yang pernah kukenal. Dengar! Cinta bukan masalah bagaimana cara kalian akan berpisah tapi bagaimana kalian bertahan untuk menjaga cinta kalian apapun ringtangannya.”

Tampak dahinya berkerut menimang-nimang perkataanku. Mungkin dia belum percaya diri seratus persen, tetapi aku yakin dia paham dengan perkataanku. Kenapa aku mengatakan semua ini? Karena aku yakin pacarnya adalah seorang laki-laki yang baik dan mampu menjaganya sepenuh hati.

“Dinda, sebuah hubungan itu terjalin dilandasi rasa saling percaya, rasa saling mengisi, dan rasa saling memahami. Jika akhirnya kamu harus berpisah dengannya, apakah kamu yakin mampu menemukan orang seperti dia? Nyaman seperti kamu bersamanya? Orang tua memang selalu benar. Tidak ada orang tua di dunia ini yang menginginkan anaknya menderita. Yang perlu kamu lakukan adalah menunjukkan pada kedua orang tuamu bahwa dia adalah pilihan yang terbaik. Buktikan bahwa semua yang dipikirkan orang tuamu itu salah. Batu yang keras sekalipun dapat terkikis oleh tetesan air yang lembut. Begitu pula dengan perasaan manusia,” kataku meyakinkan.

Kulihat seulas senyum di bibirnya. Punggun tangannya menyeka air mata yang masih tersisa di pipi. Kini sudah tidak ada lagi air mata katanya. Dia akan memperjuangkan cintanya seperti apa yang kukatakan. Dia tidak akan menyerah karena dia yakin inilah yang terbaik baginya.

Lima tahun kemudian aku bertemu dengan sahabatku itu di sebuah outlet miliknya di Kota Bandung. Dia tampak bahagia dengan kedua anaknya. Namun yang membuat mataku terbelalak adalah laki-laki yang kini menjadi suaminya. Suaminya adalah laki-laki yang kukenal setahun yang lalu dan kini menjadi suamiku.

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerpen "Cinta Terakhir Keysa" (teenlit)

Masa KAnak-KanakQ

PIDATO KESEHATAN