Akhir dari Ambisi Mahapatih Gajah Mada

Cerpen Karangan:  Vira Maulisa Dewi

Kategori:  Cerpen CintaCerpen Patah HatiCerpen Sejarah
Lolos moderasi pada: 2 Mei 2021

Suara hiruk pikuk kendaraan yang lalu lalang di pusat Kota Bandung sangat mengusik telingaku yang tengah suntuk, kasihan seribu beban yang tengah kupikul. Aku yang sedang berjalan trotoar setelah pulang dari kuliah berusaha untuk tetap fokus. cuaca cerah sekali. Seolah-olah sang raja siang sedang memamerkan listriknya untukku. Setelah berjalan sekitar lima belas menit dari kampus, akhirnya saya berhasil menemukan tempat fotokopian langgananku. Beruntung sekali, saya datang pada waktu yang tepat. Siang ini tidak begitu ramai, jadi saya tidak perlu menunggu terlalu lama. Seperti menunggu kedatangannya.

Dua hari lagi aku akan menjalani prosesi wisuda, jadi wajar saja jika akhir-akhir ini mondar-mandir mengurus beberapa dokumen yang harus dipenuhi. Sampai sekarang aku merasa belum sadar kalau waktu berjalan begitu cepat. Ternyata terakhir kali aku ketemu Adian dua tahun lalu, laki-laki jangkung yang mengaku menjadi pacarku sejak lima tahun lalu. Maklum saja, Adian seorang prajurit berseragam loreng hijau. Dia ditugaskan ke sana ke mari. Bahkan sengatku, setelah dia masuk militer kami hanya bertemu lima kali. Saya yang tinggal di Bandung, anggap saja ujung baratnya Pulau Jawa, sedangkan kampung halaman Adian di Banyuwangi, ujung timurnya Pulau Jawa.Tak bisa dipungkiri, selain karena dia jarang pulang juga karena kami berasal dari kota yang berjauhan.

“Kak, Sasya…”.
Betapa terkejutnya aku ketika mendapati Avian, adiknya Adian. Aku masih tertegun sambil memandang Avi berlari ke arahku. Ia langsung menyambarku dengan pelukan eratnya. Ternyata ia tak lupa denganku, meski baru bertemu sekali dan itu pun dua tahun lalu.

“Kakak, gimana kabarnya?”, tanyanya sambil memelukku dengan erat.
“Kakak baik-baik saja kok. Kok kamu bisa di sini?” tanyaku.
Avi, begitu sapaan akrabnya. Ia kemudian melepaskan pelukannya. Wajahnya berbinar dan mata bulatnya berkaca-kaca. Tanpa permisi ia meraih kedua tanganku.
“Jadi, aku ke sini sama Mama dan Papa. Kata Kak Adian, lusa Kakak mau wisuda. Kak Adian ngajak kami datang ke sini”, jelas Avi kegirangan.
Sontak aku terkejut bukan main mendengar cerita Avi. Aku bingung, mulutku bergerak-gerak. Entah kata apa yang ingin aku ucapkan.

“Tadi Kak Adian, Mama, sama Papa ke rumah Kak Sasya”, tambahnya.
“Hah??”, mataku terbelalak mendengar ucapan Avi barusan.
“Kenapa, Kak?”, aku menggelengkan kepala. “Kakak belum tau kalau Kak Adian pulang?”
“Sekarang di mana Kak Adian?”, tanyaku tergesa-gesa.
“Masih di rumah Kakak, sama Mama dan Papa”, jawab Avi polos. Makhlum saja dia masih kelas 5 SD.
“Tadi kamu ke sini sama siapa?” tanyaku lagi.
“Diantar sopirnya Ayahnya Kak Sasya, ketika aku melihat Kakak keluar dari kedai itu Pak Amat langsung kembali ke rumah Kakak”, tuturnya sembari mengarahkan pandangannya ke kedai fotokopian yang baru saja aku tinggalkan.
“Ayo pulang ke rumah Kakak”, ajakku. Aku menggandeng tangan Avi, berjalan beriringan menyusuri trotoar
Pikiranku berkecamuk, melayang ke antah brantah. Apa tujuan Adian datang ke rumah. Bahkan sampai sekarang aku pun belum bercerita apa-apa soal Adian ke Ayah sama Bunda.

Jarak dari kampus ke rumah memang tidak terlalu jauh. Dengan berjalan sekitar 15-20 menit aku sudah tiba di rumah. Dan benar, di depan rumah terparkir sebuah mobil berwarna hitam. Mungkin itu mobil keluarga Adian. Entahlah, tiba-tiba ada keraguan untuk melangkah masuk ke rumahku sendiri. Jantungku berdegup kencang. Aku diam mematung di halaman rumah.

“Kak?” goyangan tangan kecil Avi berhasil membuyarkan lamunanku.
“Ah, iya. Hayu masuk”, kataku dengan logat khas orang Sunda.

Setelah berhasil mengumpulkan niat, akhirnya aku memberanikan diri untuk masuk bersama Avi. Avi yang pemberani berlari mendahuluiku setelah mulutku mengucap salam. Ia langsung naik ke pangkuan Mamanya. Aku melebarkan senyum sembari memandang orang-orang yang tengah duduk di ruang tamu. Di meja nampak beberapa makanan ringan dan minuman hangat di cangkir. Laki-laki gagah, seperti Adian, perempuan cantik yang mewariskan wajahnya ke Adian, dan juga Ayah dan Bunda. Mereka menyambutku dengan senyum masing-masing. Beberapa saat aku masih tertegun, berdiri membeku di ambang pintu.

“Hayu masuk..”, Bunda datang menghampiriku bersama senyumnya yang khas.
Aku duduk di samping Bunda. Adian memandangku sesaat, kemudian mengedipkan matanya yang lebar. Kembali lagi, aku memberikan senyuman untuk Mama dan Papanya.

“Uuumm… Dian, boleh bicara sebentar?”, tanyaku memecah keheningan. Adian mengangguk, sementara kedua orang tua kami hanya tersenyum kecil.
Adian beranjak dari duduknya, membututi langkahku ke ruang belakang.

“Kamu apa-apaan sih, An!”, kataku dengan nada kesal.
“Selow dong girl. Kok ngegas gitu, katanya kangen sama aku?”, ledeknya.
“Kok kamu tiba-tiba datang bawa rombongan gitu? Aku belum cerita apa-apa soal kamu ke Ayah sama Bunda”, ujarku.
“Bukannya kamu sendiri yang bilang, kalau laki-laki yang pemberani bukan hanya berani di medan perang tapi juga berani menghadap kedua orangtua wanita impian”, jelas Adian yang tiba-tiba memelukku. “Miss you more, Sya”.
“Miss you too, Diannnn…”, akhirnya akupun nangis dipelukkan Adian. “Lain kali kalau ke sini kabari dulu ya”, ucapku lirih. Sementara Adian hanya mengangguk pelan.

“Lusa kamu wisuda kan ya?” tanyanya setelah melepaskan pelukan. Aku mengangguk.
“Tadi kamu apa ngomong ke Ayah sama Bunda?”
Adian diam sejenak, sesekali berdeham. “Aku melamarmu”, jawab Adian kegirangan.
Aku tertegun mendangar pengakuan Adian. Apakah aku masih bermimpi, gumamku dalam hati.
“Gimana Ayah sama Bunda?” tanyaku lagi.
“Uumm… Katanya mereka masih mau membicarakannya denganmu, soalnya kamu belum cerita apa-apa ke mereka”, ujarnya. “Aku masih terus berpikir, hampir lima tahun loh kita pacaran, kok kamu belum cerita? Kakakku dulu aja ya, baru dua bulan pacaran sudah curhat sama Mama”.
“Maaf..”, kataku sambil menunduk. “Ke depan, yuk!”, ajakku.

Beberapa saat kemudian, Adian dan keluarganya pamit pulang. Mereka menginap di salah satu hotel yang tidak jauh dari sini. Adian dan keluarganya akan kembali ke Banyuwangi setelah menghadiri wisudaku lusa, ujarnya sebelum mereka pamit.

“Makan dulu, Sya”, pinta Bunda setelah mengantarkan keluarga Adian ke luar rumah.
“Belum lapar, Bun”, jawabku. Kemudian kuhempaskan badanku ke sofa yang ada di ruang keluarga. Tanganku meraih remote, menyalakan televisi yang bertengger tepat di depanku. Ayah datang entah dari mana.
“Bunda… Sini, Bun. Ayah mau ngomong”. Deg! Seketika jantungku berdegup kencang. Membayangkan suara keras Ayah ketika marah. Hatiku menciut ketika Bunda datang dan duduk di sampingku. Jadi, saat ini posisiku sangat kaku. Aku duduk diapit oleh Ayah dan Bunda. Tatapan Ayah seolah-olah mengisyaratkan sesuatu yang buruk.

“Sejak kapan kamu kenal sama Adian?”, tiba-tiba Ayah bertanya tentang hal itu.
“Sudah lima tahun, Yah”, jawabku.
Entah mengapa, aku mendengar Bunda menghela napas sangat panjang. Raut wajahnya menunjukkan sebuah kekecewaan. Sementara Ayah, raut wajah Ayah menyiratkan masih ada seribu pertanyaan yang ingin ia lontarkan.

“Kenapa kamu ngga pernah cerita sama Ayah atau Bunda, Sya?” tanya Bunda yang memang pembawaan orangnya lemah lembut.
“Kamu tahu kan kalau Adian orang Jawa?” nada suara Ayah semakin meninggi, membuatku semakin meringkuk ketakutan.
Aku terdiam. Aku tahu Ayah pasti akan marah karena hal ini.

“Sasya!” bentak Ayah karena aku masih terdiam. Bunda beranjak mendekatinya, mengelus pundaknya yang kekar untuk menurunkan suhu kepala Ayah.

“Iya, Yah, Sasya tau. Tapi itu hanya mitos, Ayah”, jawabku setelah berhasil mengumpulkan keberanian.
“Ayah ngga setuju sama hubungan kalian! Lebih baik kamu akhiri hubungan itu, sebelum melangkah lebih jauh”. Sontak air mataku mengalir deras, membasahi seluruh wajah. Aku tidak pernah berpikir, Ayah akan mengatakan ini padaku. Hatiku rasanya sakit sekali. Ada berjuta kata yang ingin aku katakan untuk menyangkal ucapan Ayah. Tapi, apalah daya. Saat ini aku hanya bisa diam, diam, dan diam. Masih tak percaya dengan kata-kata Ayah. Masih tidak mengira kata-kata itu diucapkan Ayah untuk aku, anak semata wayangnya.

“Sya, kamu kan tau kalau keluarga kita percaya dengan ucapan leluhur kita. Orang Sunda itu pamali menikah sama orang Jawa”, kata Bunda yang berusaha menenangkan tangisku. Ia beranjak dan kembali duduk di sampingku.
“Bundaa…”, aku memeluknya dengan erat. “Itu hanya mitos, Bun, Sasya ngga percaya sama mitos itu”, kataku sambil menangis.
“Tahu apa kamu soal mitos itu?”, pertanyaan Ayah yang terlontar sangat keras telah mengusik keheningan.

Aku bangkit dari pelukan Bunda, berusaha untuk kembali menjadi Sasya yang tegar. Aku ngga boleh jatuh terlalu dalam. Tanganku kemudian menghapus air mata yang masih bercucuran, ia ikut andil untuk menguatkanku diriku sendiri.

“Sasya tau, Ayah. Itu hanya mitos, mitos karena kesalahan zaman Majapahit dulu. Kita ngga salah, Ayah, itu hanya kesalahan di masa lalu”, jelasku.
“Memang, ini kesalahan di masa lalu, jadi jangan kamu ulangi kesalahan itu di masa sekarang!” Ayah masih saja menyangkal perkataanku.
“Ayaahh…” aku berusaha menenangkan diriku. “Mitos ini berawal dari lamaran Raja Hayam Wuruk kepada Dyah Pitaloka, anak Raja Sunda. Tapi ketika rombongan itu dalam perjalanan ke Majapahit, mereka mendengar berita kalau pernikahan ini sebagai bentuk penyerahan Sunda ke Majapahit. Semua ini karena ambisi Patih Gajah Mada untuk mewujudkan Sumpah Amukti Palapanya, Ayah. Jadi kita yang hidup di masa sekarang tidak perlu lagi percaya mitos seperti ini”, jelasku panjang lebar.
Ayah masih diam. Bunda hanya tersenyum ketika aku memandangnya. Tangannya yang lembut mengelus rambutku yang tergerai sepunggung.

Tiba-tiba Ayah tertawa, seakan-akan mengejek penjelasanku itu.
“Ohhh, jadi ini materi sejarah yang kamu dapatkan ketika sekolah?”, Ayah melihatku dengan tatapan tajam. “Kenapa kamu tidak masuk jurusan sejarah aja, sekalian biar bisa menjawab pertanyaan Ayah dengan ilmu-ilmu dan kajian sejarah kamu dapat di kampus”, pungkasnya.

Tak berkata lagi, Ayah meninggalkanku dan Bunda. Raut wajahnya yang kesal dan menakutkan seakan-akan masih tertinggal di sofa bekas ia duduk. Tangisku belum terhenti. Mataku yang belum kering memandang punggung Ayah yang berjalan menuju kamarnya. Tangannya yang kekar itu menutup pintu dengan sangat keras, hingga membuat Bunda terkejut.

“Bundaa… Aku harus gimana?”, tanyaku lagi sambil kembali memelukknya. “Aku sangat mencintai Adian”.
Bunda membalas pelukanku sembari mengelus punggungku.
“Bunda tidak bisa berbuat apa-apa, Sayang. Sejak dulu keluarga Ayah sama Bunda memang percaya sekali dengan larangan itu”, jawabnya.
“Itu hanya mitos, Bun, bukan larangan”, seketika aku melepaskan pelukanku setelah mendengar jawaban Bunda yang cenderung berpihak ke Ayah.
“Sasya, kamu harus sadar kalau kamu itu dilahirkan sebagai Orang Sunda”, pinta Bunda.

Aku tak mengatakan apa-apa lagi. Aku hanya bisa diam seribu bahasa. Entah kalimat apa yang bisa kuutarakan pada Ayah supaya bisa meluluhkan hatinya untuk menerima Adian. Yang ada di kepalaku hanyalah Gajah Mada, mahapatih yang terkenal pada masanya itu benar-benar membuatku sangat kesal. Meskipun aku belum menemui bagaimana wujud aslinya, aku hanya berambisi untuk menghabisinya kalau saja dia berada di masa sekarang. Kalau saja Hayam Wuruk dan Dyah Pitaloka jadi menikah waktu itu, mungkin jalan yang kulewati sama Adian tidak menemui batu besar seperti ini.

Langit mulai gelap dan bintang pun berserakan di awang-awang, tak hentinya aku menangis. Mataku semakin sembab, perasaanku hancur. Berkali-kali Adian menghubungiku. Berkali-kali pula aku mengacuhkannya, rasanya masih terlalu berantakan untuk bercerita ke Adian.

Tokk… tokk… tokk…
“Sya, makan dulu, Nak”, bisik Bunda dari balik pintu.
“Bunda makan dulu saja”, kataku lirih.
“Jangan gitu, Sya. Lusa kamu wisuda loh, harus dijaga kesehatannya”, Bunda berusaha membujukku. “Hayuuu, Geulis. Ayah sudah menunggu di bawah”.

Klekkk… Aku pun beranjak dan membuka pintu. Bunda masih setia menungguku di depan pintu. Wajahnya mendadak mendung setelah melihat raut mukaku yang benar-benar berantakan.
“Ya ampun, Sasya… Sudah, Nak, jangan begini terus. Kamu harus bangkit”, Bunda mengelus rambutku sambil mendekapku dengan peluk hangatnya.
“Yang buat Sasya kaya gini juga siapa?”, cetusku setelah melepaskan pelukan Bunda. Kedua mata Bunda nampak berkaca-kaca. Aku tak peduli, aku kemudian meninggalkan Bunda yang masih diam mematung.

Satu demi satu aku mulai menuruni anak tangga yang menggiringku ke meja makan. Benar kata Bunda, Ayah sudah duduk bersiap untuk menikmati makan malam. Tapi makan malam kali ini terasa sangat berbeda dari malam-malam sebelumnya. Ayah tak ada niat sama sekali untuk sekedar memandang wajahku. Dan mulutkupun membeku hanya untuk sekedar mengucapkan selamat malam.

“Malam ini Bunda masak makanan kesukaan kamu, Sasya”, ujarnya. Aku melihat ada perkedel jagung, makanan kesukaanku, tertata manis di sebuah piring.

“Terima kasih, Bun”, ucapku lirih. Suaraku terdengar serak dan berat karena tangis yang tak terhenti sejak tragedi bersama Ayah dan Bunda siang tadi. Sontak saja Ayah memandangku setelah mendengar keanehan dari suara yang keluar dari mulutku.
“Kenapa suaramu? Kenapa juga mata kamu sembab gitu?”, tanya Ayah bersama dengan ekspresi judesnya. Aku diam. Tak menjawab satu pun pertanyaan Ayah.
Brakkkk… Sontak aku terkejut bukan main. Bunda yang sedang mengambil nasi untuk piring Ayah pun merasakan hal yang sama. Tiba-tiba saja jemari-jemari Ayah yang kekar menggebrak meja makan yang berisi penuh masakan Bunda.
“Ayah…”, Bunda mengelus dada pujaan hatinya itu setelah meletakkan wadah nasinya.
“Buat apa kamu nangis-nangis seperti itu? Sampai suara kamu serak, mata kamu sembab dan penampilanmu sangat memalukan!” seakan-akan Ayah khawatir dengan keadaanku, tapi ia salah dalam mengungkapkannya. Kali ini tangannya menyibak kedua tangan malaikat milik Bunda, ia berdiri dengan pandangan yang tajam menusukku berkali-kali.
“Ayah, sudah, Yah. Kita makan dulu”, Bunda berusaha meredam amarah Ayah.
“Ayah…”, belum selesai kuberucap air mata yang sedari terbendung keburu mengalir deras.
“Nangis lagi! Nangis terus!”, bentak Ayah lagi. “Masih banyak laki-laki lain yang lebih baik dari si Adian itu. Ayah hanya tidak ingin anak Ayah satu-satunya ia sampai salah pilih pasangan”.
“Tapi, Yah. Adian itu orang baik-baik, Sasya tahu siapa Adian, Yah”, ujarku berusaha menampik ucapan Ayah.

“Ayah tidak mengatakan kalau Adian bukan orang baik-baik. Ayah hanya tidak suka kalau anak Ayah mengabaikan pesan dari nenek moyang keluarga kita, hanya itu saja. Titik!”.
“Sasya sudah bilang, Ayah. Itu hanya mitos. Jadi kita…”.
“Jadi kita apa? Kita harus melanggarnya gitu?” Ayah memotong ucapanku tanpa permisi.
“Ayah…”, ucapanku kali ini mendadak terhenti karena tiba-tiba seseorang mengetuk pintu dari luar.
Ayah menghela napas panjang dan menghembuskannya. Kedua mata Ayah masih menatapku tajam.
“Siapa, Bun?” teriak Ayah setelah mendengar Bunda mengobrol dengan seseorang. Bahkan nada suara Ayah masih terdengar begitu kesal.
Tapi tak kunjung ada jawaban dari Bunda, yang ada justru Bunda menghampiri kami yang masih bersitegang. Bunda datang tergopoh-gopoh dan segera menghampiri Ayah.

“Adian ada di ruang tamu”, ucapnya lirih.
“Siapa, Bun? Adian di mana?”, aku berusaha memperjelas apa yang baru saja telingaku dengar.
Ayah kemudian melirikku dengan raut muka yang seakan-akan ingin menerkamku. Entah apa yang dibicarakan Bunda, keduanya seakan-akan tak ingin aku mengetahuinya.

Ayah kembali menoleh ke arahku. Kali ini gigi-gigi Ayah bertabrakan, suaranya yang gemeretak terdengar jelas olehku.
“Kamu belum cerita ke Adian kalau Ayah sama Bunda tidak setuju dengan hubungan kalian?”, tanya Ayah dengan begitu kesal. Ia terlihat berusaha menahan amarahnya.
Aku diam. Hanya kepalaku yang menggeleng pelan dan setitik air bening meluncur dari pelupuk mata, kemudian jatuh tepat dipangkuanku.

“Tunggu apa lagi, Sasya? Kamu berjam-jam di kamar itu ngapain aja? Nangis doang?” kali ini suara Ayah semakin meninggi. Karena berusaha menghargai Adian yang sedang bertamu, Bunda berusaha menekan suara Ayah.

“Ayah memang tidak pernah mendengar curhatan Sasya. Makanya Ayah tidak pernah tahu bagaimana isi hati dan perasaan yang sedang dirasakan anaknya. Ayah dengan mudahnya mengatakan ‘nangis doang’”, aku mengakhiri penjelasan itu dengan tawa kecil. “Laki-laki yang telah menjadi Ayah, mau tidak mau harus memahami perasaan wanitanya, istri dan anak perempuannya. Tidak seperti Ayah”, tambahku.
Dann… Plakkkk… Sebuah tamparan keras mendarat hangat di pipi kananku. Bunda yang terkejut menyaksikan kejadian ini sontak menjerit dan dengan sigap menarik tangan Ayah yang ingin melayangkan tamparan keduanya. Aku tak bersuara sepatah katapun. Tanganku mengusap ujung pipi bekas tamparan Ayah yang memulai memanas.

datangnya, Adian ternyata sudah berdiri di dekat kami. Ayah masih berusaha mengembalikan emosinya, ia berdiri mematung sembari memandang Adian.
“Mohon maaf, Om, Tante, kalau Adian lancang masuk ke sini”, ucapnya merasa bersalah.
“Sejak kapan kamu di situ?” tanya Ayah.
“Belum lama, Om. Sejenak setelah mendengar Tante teriak. Adian berpikir ada sesuatu yang terjadi”, ujarnya.
“Ya, memang benar ada sesuatu yang terjadi. Dan kamu harus tau itu!”
“Sa-sa-saya, Om?” tanyanya gelagapan.
“Ya, kamu”, jawab Ayah singkat.
“Sudah, cukup! Adian, kamu tunggu di depan! Kita bicara di luar, aku mau ganti baju dulu”, aku menarik tangannya dan mendorong Adian untuk meninggalkan Ayah yang amarahnya sedang mendidih.

“Sas… Sasya, ini ada apa? Kenapa, kenapa kamu sembab kaya gini?” tanya Adian. Dihapusnya air mataku yang masih bercucuran. “Cerita ke aku, ada apa?” Aku tak menjawab, Adian kemudian meraih kedua tanganku berusaha untuk meyakinkan diriku.
Aku melepas paksa genggaman Adian, “Tunggu di sini, aku ganti baju dulu”, kataku yang kemudian meninggalkan Adian yang masih berdiri mematung di teras.

Selama perjalanan di mobil, aku dan Adian mendadak canggung. Sesekali ia menoleh ke arahku sembari tetap fokus pada setir bundarnya. Sementara aku, aku masih menikmati tangisku yang tak kunjung henti. Bahkan aku sampai sesenggukan. Mungkin ini membuat Adian semakin bingung.

“Ehm…”, deham Adian. Ia kembali memandangku sekilas.
“Sas, gapapa cerita aja ke aku. Ada masalah apa?” tanyanya.
Aku belum menjawab. Kemudian kuusap segelintir air yang jatuh menusuri wajahku.
“Kita mau ke mana sekarang? Ngopi? Makan? Nonton? Belanja?”, tanya Adian bertubi-tubi.
“Berhenti di sini saja”, kataku.
Jelas saja Adian seketika tampak terkejut dengan jawabanku. Memang benar selama perjalanan kami belum tahu mana arah yang akan kami tuju. Kemudian tiba-tiba aku meminta ia memberhentikan kemudinya dan berhenti di trotoar yang ramai akan hiruk pikuk kendaraan.
“Di sini? Bener?”, tanya Adian tak yakin sembari melihat sekeliling. Aku hanya menggangguk pelan.

“Diann…”, akhirnya tangisku benar-benar pecah, air mataku jatuh tak tertahankan dan kemudian menggenangi mobil Adian.
Seketika ia kembali dikejutkan olehku. Adian mendadak kaku, tangannya bergerak-gerak ingin memelukku. Mungkin ia ragu, karena selama ini kita jarang bertemu dan belum pernah sama sekali berpelukan. Setelah berdebat dengan dirinya sendiri, akhirnya Adian memutuskan untuk mengelus rambutku yang tergerai. Aku membungkuk, berusaha membungkam wajahku yang basah.

“Apa yang sebenarnya terjadi, Sas? Cerita ke aku, jangan dipendam sendiri seperti ini”, Adian terlihat begitu mengkhawatirkanku.
“Diann… Aku rasa hubungan kita tidak bisa dilanjutkan”, ucapku sebelum kembali menderukan tangis. Kemudian kuangkat kepalaku dan kembali membenarkan posisi dudukku.
Adian yang awalnya mengelus-elus kepalaku, berusaha menenangkan diriku. Tiba-tiba ia mendadak dia mematung, mulutnya tak bersuara. Mata tajamnya mendadak berkaca-kaca. Ini adalah kali pertamanya aku melihat seorang laki-laki menangis karena ucapan wanitanya. Karena ucapanku.

Tak berselang lama, setitik bening dari mata kanan Adian jatuh ke pangkuannya. Kemudian diikuti tangis mata kirinya. Namun ia masih mematung, mulutnya bergerak-gerak tapi sampai sekarang belum bersuara. Jemariku yang juga basah karena tangisku sendiri bergerak mengusap tetesan air mata Dian. Laki-laki yang selama ini kudambakan menjadi belahan jiwaku.

Kutarik nafas panjang-panjang dan menghembuskannya. Hembusan itu terdengar begitu keras, Adian memandangku sejenak. Dann…
Adian menyambarku dengan pelukan. Kali pertama Adian memelukku. Tapi, tapi aku tak membalasnya. Tanganku tak kuasa untuk membalas pelukan Adian. Karena aku yakin, kata-kata yang keluar dari mulutku ini nanti akan sangat menyakitinya.

Adian masih menangis sembari memelukku. Tetesan air matanya terasa basah di punggungku.
“Maafkan aku, Adian”, ujarku sambil melepaskan pelukannya.
“Kenapa, Sas? Apa yang terjadi?”, tanyanya. “Bukankah siang tadi suasana hatimu sangat cerah? Apa gerangan yang membuatmu mendadak mendung seperi ini? Apa angin yang berhembus setelah kepergianku tadi membawa kabut yang tebal”, tambahnya lagi.
Aku mengangguk.
Raut wajah Adian mendadak pudar.

“Hubungan kita tidak mendapat restu dari kedua orangtuaku. Mana mungkin kita akan melanjutkan sebuah hubungan, jika orangtua sebagai perantara restu-Nya saja tidak merestui hubungan ini”, jawabku sedih.
“Aku tahu kok, Sas, hal seperti inilah yang mungkin akan terima suatu hari nanti. Dan ternyata, telah kuterima malam ini”, Adian tertawa ditengah-tengah tangisnya.

“Aku… aku…”, mendadak mulutku membeku dan sulit untuk mengeluarkan sepatah dua patah kata. “Ini adalah hal yang sangat sulit untuk kuterima, Dian. Aku, aku mungkin tidak bisaaaa…”, aku pun kembali menangis.
Kemudian Adian mengusap air matanya yang masih tersisa. Ia juga mengatur pernapasannya, membenarkan posisinya duduk.
“Sas.. Sebelum memutuskan untuk berangkat ke sini, kedua orangtuaku sudah berpesan. Ya, aku tahu kok alasan orangtua kamu tidak merestui hubungan ini. Dan juga, orangtuaku selalu mendoktrinku untuk selalu kuat dan tegar dengan segala jawabannya yang mungkin tidak enak didengar”.
“Dan jawaban yang tidak enak didengar itu, baru saja aku ucapkan”, ujarku penuh penyesalan.

“Aku benci sama orang-orang zaman dulu, aku benci Gajah Mada, aku benci orang-orang Majapahit”, umpatku.
“Sasya…”, Dian memegang kedua pundakku. “Kita tidak bisa begitu saja menyalahkan masa lalu yang kebenarannya kita sendiri belum tahu. Bukankah hal-hal seperti ini termasuk cerita mitos?”.
Kemudian aku memandang wajah Adian. Kedua mata kami saling bertemu dalam tatapan yang sama.

“Kita tidak bisa menjalani hidup di masa sekarang ini tanpa adanya masa lalu, Sas. Entah itu masa lalu yang buruk ataupun yang baik”, tambahnya.
“Tapi, Dian. Gara-gara ulah orang di masa lalu, hubungannya kita harus seperti ini”, kataku ngeyel.
“Ada banyak cara Tuhan menjodohkan makhluk-Nya, dan ada banyak cara pula untuk memisahkannya. Bukankah kamu sering mendengar kalimat ini?”
Aku kembali mengangguk.

“Tapi…”, Dian membungkam mulutku dengan hati-hati.
“Percayalah bahwa Tuhan telah menyiapkan jodoh yang sangat baik untukmu, dan tentu orang itu bukan aku”, ujarnya. Entahlah, semakin ke sini Adian semakin terlihat tegar.
“Tapi, Dian, itu hanya mitos. Kita tidak…”, lagi-lagi ia menghentikan ucapanku. Kali ini ia menghentikannya dengan sebuah gelengan kepala, isyarat bahwa ia menolakku bicara.
“Kita tidak boleh percaya begitu saja dengan mitos, itu kan yang ingin kamu katakan?”
Lagi-lagi kepalaku mengangguk.

“Memang benar, Sasya. Mitos itu tidak harus dipercaya, namun beberapa orang itu percaya dengan mitos. Dan kita tidak boleh melarang begitu saja supaya orang lain tidak lagi percaya mitos. Sama seperti?” Adian melempariku sebuah pertanyaan.
“Seperti aku melarang Ayah dan Bundaku untuk tidak percaya dengan mitos ini”, kataku.
“Nahh… tuh kamu tahu”, ujarnya. “Kita kan sudah sama-sama dewasa, ayoklah kita ubah jalan pikiran kita dan cara pandang kita. Semakin terbuka dengan apa yang ada di sekitar kita. Jangan terlalu mementingkan ego. Restu orangtua itu hal terpenting dalam sebuah hubungan. Jadi, kita juga harus terima kenyataan kalau kita diciptakan hanya sebatas menjadi seorang teman, bukan teman hidup seperti apa yang pernah kita harapkan”. Dian mengusap air mataku yang kembali jatuh.

“Sekarang kita pulang, lusa kamu wisuda kan? Kamu istirahat, jangan mikir yang aneh, jaga kesehatan”, ucapnya sembari membenarkan sabuk pengamanku.
Aku tak menjawab, hanya kepalaku yang mengangguk.
“Dah siap”, kata Dian setelah selesai membenarkan sabuk pengaman yang melilit ditubuhku. “Sudah, jangan nangis lagi. Ini bukan akhir dari hubungan kita. Senyum donggg…”, pintanya. Ia menatapku dengan saksama, menantikan senyum yang terukir di wajahku.

“Nah, gitu dong”, ucapnya sembari mencubit hidungku setelah melihat senyum tipis yang baru saja kulukis. “Sekarang kita pulang. Nanti aku mau ngomong sama Ayah dan Bunda kamu. Kamu jangan khawatir”, tambah Dian sambil mengacak-acak kepalaku. Aku pun kembali melebarkan senyum padanya.

memarkirkan mobilnya di halaman. Aku keluar tanpa menunggu ia membukakan pintu untukku. Terlihat Bunda yang mengkhawatirkanku, ia duduk menungguku di teras sendirian. Melihat kedatanganku dengan Adian, ia segera bangkit dan menyambarku dengan pelukan.

“Sasya baik-baik saja kok, Tante”, cetus Adian.
“Ayah sudah tidur?”, tanyaku.
Bunda menggeleng, “Belum, Ayah masih menyelesaikan pekerjaannya di dalam”, jawabnya.
“Dian katanya mau ngomong sama Ayah dan Bunda”, kataku. Bunda kemudian memandang Dian. Sembari melebarkan senyumnya, Adian menganggukkan kepalanya.
“Hayuu masuk dulu”, Bunda mengajak kami masuk. “Tunggu dulu ya, Bunda panggil Ayah dulu”, katanya setelah mengantar Adian ke ruang tamu.

Tak berselang lama, Bunda kembali bersama Ayah. Sebelum duduk, Ayah berdeham sambil memusatkan pandangannya ke Adian. Adian pun membalasnya dengan senyum khasnya yang lembut, geraknya yang sopan, dan pembawaan yang tegar.
“Ada apa, Nak Dian?” tanya Ayah dingin.
“Mohon maaf, Om, mengganggu waktu istirahatnya”, Adian mengawali ucapannya.
“Ah, tidak”, kata Ayahku.
“Jadi maksud Adian, Adian ingin meminta izin kepada Om dan Tante. Adian ingin menghadiri wisuda Sasya”, aku yang sebelumnya belum tahu sontak mendadak kaget. Tangankku mencubit pahanya pelan, tapi ia justru membalasnya dengan senyuman.

“Nak Dian. Sebelumnya Om mohon maaf yang sebesar-besarnya, bukan maksud Om dan Tante tidak menyukai Nak Adian, tapi…”, Ayah tidak melanjutkan kuliahnya.
“Tadi Sasya sudah cerita banyak ke Adian kok, Om, Tante”, ujarnya dengan senyum yang terus mengembang. “Om dan keluarga tidak perlu minta maaf ke Adian, atau keluarga Adian. Sebelum berangkat ke sini, Adian sudah diberitahu konsekuensi yang mungkin saja akan Dian terima, Om, Tante”, tambahnya.
Ayah kembali berdeham.
“Izinkan Adian untuk menghadiri wisuda Sasya, Om, Tante. Sebelum Adian kembali ke Banyuwangi, Adian ingin menyaksikan sebuah momen sakral Sasya. Dan tentunya, Adian akan datang sebagai seorang sahabat, yang senantiasa mendukung keberhasilan sahabatnya”, jelasnya kepada Ayah dan Bunda.
Tiba-tiba wajah Ayah berbinar, senyumnya mengembang. Ia memandangku, kemudian menatap Adian.
“Sebuah kebahagiaan untuk Sasya jika Nak Dian datang di wisudanya besok. Tentu Om yang membukanya, bukannya begitu, Bun?”, ujarnya yang kemudian melontarkan pertanyaan ke Bunda. Dan Bundapun mengangguk kepalanya. Akhirnya senyum dan tawa kecil kami kembali bersemi, menghiasi malam yang mulai sunyi.

Ternyata Tuhan menciptakan aku dan Dian hanya untuk bertemu, bukan bersatu. Hanya berteman, bukan menjadi teman hidup. Hanya bersandar, bukan menjadi sandaran hidup. Terima kasih Adi. Semoga kita bisa bertemu kembali, meski sudah dalam keadaan yang berbeda.

 

Sumber: http://cerpenmu.com/cerpen-cinta/akhir-dari-ambisi-mahapatih-gajah-mada-part-1.html

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerpen "Cinta Terakhir Keysa" (teenlit)

Masa KAnak-KanakQ

PIDATO KESEHATAN