Jena
Sudah 2 jam lebih aku mematung di depan layar laptop. Ruang
yang gelap membuat sinar laptop itu memantul di kaca mata yang kukenakan,
membuat mata ini silau dibuatnya. Bahkan selama 2 jam ini aku hanya bisa
memelototi monitor tanpa melakukan apa-apa. Rasanya sangat sulit untuk
memilah-milah kata yang tepat untuk menunjukkan ungkapan yang ada di otakku.
Tak ada satupun kata yang mampu mewakili perasaan dan ungkapan keindahan itu.
Jena, gadis manis berambut ikal sebahu itu telah meracuni
pikiranku sejak pertemuan kami di sebuah seminar bahasa. Dia berasal dari
kampus yang sama denganku, tetapi kami tak pernah bertemu sebelumnya. Satu hal
yang membuatku terkesan yaitu sikapnya yang polos dan pemalu. Sangat manis. Tak
pernah sekalipun dia memandang mataku saat berbicara. Mungkin karena dia
pemalu, atau mungkin dia suka denganku. Terlalu percaya diri memang, tetapi
bukankah orang yang menyukai kita maka tidak akan berani manatap mata kita.
Sama dengan pembohong memang, karena mereka berbohong dengan perasaan hatinya
dan masih menyangkal perasaan cintanya. Well,kurasa sedikit benar walau kebanyakan
hanya argumen tanpa dasar.
Kami sering membuat cerita-cerita fiktif. Suatu kali saat di
kampus, kami melihat orang aneh yang sering duduk di pojok jalan. Seorang
laki-laki yang selalu memakai topi hijau dan membawa tape. Laki-laki itu
terlihat frustasi. Lalu imajinasi kami terbang ke sana ke mari mengenai
laki-laki itu. Mungkin istrinya tengah sakit keras dan anaknya, anaknya tidak
memiliki uang untuk melanjutkan pendidikan. Sungguh sangat ironis memang. Akan
tapi itulah kekuatan imajinasi, tidak ada yang bisa menghakimi walau itu tidak
benar, atau bisa disebut sebuah kebohongan.
Saat dia menemukan hal-hal yang lucu, pipinya selalu bersemu
merah dan tersenyum. Seolah siang juga tesenyum melihat dirinya tersenyum. Aku
sangat menyukainya. Dan saat dia mengetahui aku memerhatikannya, dia akan
langsung menunduk malu dan pipinya semakin merona. Aku tidak akan melupakan
senyum itu, wajah itu. Dirinya memiliki satu ruang kecil dalam ingatanku. Jena.
Komentar
Posting Komentar